Arab Saudi Pun Bilang, 'Tiada Maaf Bagi Ruyati!'

Arab Saudi Pun Bilang, 'Tiada Maaf Bagi Ruyati!'
Dengan sombongnya Dubes Arab Saudi, Abdulrahman Mohamed Amen Al-Khayyat bersuara keras, bahwa tak ada kata maaf untuk "penyembelihan" Ruyati
Hal ini terungkap ketika Duta Besar (Dubes) Arab Saudi Abdulrahman Mohamed Amen Al-Khayyat tersebut mebantah pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa. Malah Marty dituduh berbohong.
Seperti diberitakan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan bahwa pihak Kerajaan Arab Saudi telah meminta maaf kepada pemerintah RI terkait hukuman mati yang dijatuhkan kepada TKI Ruyati binti Satubi.

Namun, Menlu Marty menolak berkomentar mengenai tuduhan Dubes Arab Saudi tersebut bahwa dirinya berbohong. "Saya tidak ada lagi yang disampaikan. Mengenai masalah itu semua sudah cukup faktual. Saya hanya menyampaikan bahwa semua penjelasan sudah cukup. Terima kasih," kilah Marty saat ditanya wartawan, Jumat (24/6/2011).

Sebagaimana diberitakan The Jakarta Post, Dubes Arab Saudi itu membantah bahwa Menteri Luar Negeri Kerajaan Arab Saudi telah meminta maaf kepada pemerintah Indonesia karena tidak memberikan informasi terkait eksekusi Ruyati binti Satubi. Al-Khayyat juga membantah bahwa pemerintah negaranya tidak memberitahukan mengenai prosedur eksekusi tersebut.

Sebelumnya, Menlu Marty Natalegawa mengaku, Pemerintah Arab Saudi minta maaf kepada pemerintah RI terkait pelaksaan hukuman pancung terhadap Ruyati. Mereka mengaku lalai tidak lebih awal memberitahukan jadwal pelaksaan eksekusi hukuman mati untuk kasus pembunuhan yang dilakukan oleh TKI non-formal asal Bekasi itu.

"Betul, mereka menyampaikan penyesalannya mengenai perkembangan ini kepada kami tadi. Beliau menyampaikan bahwa intinya mereka lalai karena tidak menyampaikan kepada kita, seharusnya disampaikan," kata Marty di Istana Negara, kemarin.
Saat konferensi pers bersama Presiden SBY, Menkumham Patrialis Akbar dan Menakertrans Muhaimin Iskandar, Marty mengatakan telah bertemu dengan Dubes Arab. Marty bilang, Dubes Arab menyampaikan maaf karena eksekusi itu.

Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Luar Negeri, Teuku Faizasyah mengaku yakin Menlu Marty tidak berbohong soal pernyataan maaf dari Kerajaan Arab Saudi. "Semua fakta sudah disampaikan Pak Menlu beberapa waktu lalu dan proses bisa kita ukur dan menyatakan kesahihannya."
"Saya sendiri tidak bisa (memastikan). Karena saya sendiri tidak hadir. Tapi saya menangkap, mereka menyampaikan permintaan maaf atas lalainya penyampaian informasi," kata Faizasyah di Istana Presiden, Jumat (24/6).

Sementara itu, dalam pernyataan resmi Kedutaan Besar Arab Saudi yang diterima redaksi media massa, Jumat (24/6/2011), menyatakan bahwa pertemuan antara Mohammad Amien Al-Khayyat dengan Menlu Marty Natalegawa, pada Rabu (22/6/2011), dalam rangka membicarakan hubungan bilateral kedua negara, dan tidak ada permohonan maaf.

Itu merupakan panggilan kedua kepada Khayyat setelah kasus pemancungan Ruyati mencuat. Kedubes Saudi mengatakan bahwa dalam pertemuan kedua itu, Khayyat hanya menyatakan kesiapannya untuk menyampaikan surat tertulis Menlu RI yang ditujukan kepada Saud Al-Faisal, Menteri Luar Negeri Saudi.
Pihak Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI pun berupaya membela diri, agar Menlu Marty tidak dianggap seolah-olah berbohong. Katanya, dalam panggilan pertama yang lalu, Khayyat dengan Kementerian Luar Negeri yang saat itu diwakili Direktur Timur Tengah Kemenlu, Ronny Yuliantoro, Senin (20/6), permintaan maaf dan pengakuan lalai itu sudah disampaikan.

Dalam pertemuan pertama itulah, menurut pihak Kemenlu, Khayyat juga menyampaikan permintaan maafnya atas kasus yang menimpa Ruyati. "Dubes Arab Saudi meminta maaf dan menyesalkan hal tersebut. Dia bertekad agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari," aku juru bicara Kemenlu RI, Michael Tene, Selasa (21/6/2011) lalu.

Terkait kebenaran apakah Menlu Marty berbohong atau tidak, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin meminta Menlu Marty dan Dubes Arab Saudi Al Khayyat memberi penjelasan pada publik soal permintaan maaf atas kasus pemancungan TKI Ruyati. "Harus diperdalam lagi, Dubes itu menyatakan tidak pernah minta maaf soal yang mana? Kalau Pak Marty bilang kan Dubes (Saudi) sudah minta maaf untuk urusan tidak memberitahu soal pemancungan. Tapi Dubesnya mengaku tidak minta maaf," pinta politisi PDIP ini.

Senada pula, Anggota Komisi I DPR Mahfudz Siddiq dari Fraksi PKS meminta Menlu Marty segera mengklarifikasi tuduhan dari Arab Saudi tersebut. “Menlu harus klalrifikasi soal ini biar engga ada tudingan melakukan kebohongan publik. Kalau tidak ada klarifikasi jadi polemik di masyarakat dan isu jadi tidak karuan," ungkapnya.

Tapi Mahfudz juga meminta Dubes Saudi untuk menunjukkan empati dan perhatian terhadap kasus Ruyati karena isu ini telah menjadi perhatian publik. Apalagi hingga kini belum pernah ada pernyataan turut berduka dari Saudi pada rakyat Indonesia, malah Dubes Saudi menyerang Menlu RI.
"Sebagai negara yang sudah lama bersahabat dan sesama negeri muslim kita sampai sekarang belum ada dengar dari Dubesnya sekadar menyatakan turut prihatin dan berupaya membantu. Ini pernyataan yang datang pertama malah pernyataan membantah minta maaf," tukasnya.
Pengamat Universitas Nasional (Unas) jakarta, Tubagus Januar Soemawinata menilai Dubes Arab Saudi maupun Menlu Arab Saudi sama-sama sombong seperti sombongnya bangsa Arab, sehingga tak mau mengeluarkan kata maaf sedikit pun. "Bagaimanapun juga mestinya mereka minta maaf atas eksekusi hukuman terhadap TKI kita yang dilakukan secara sepihak dan meremehkan pihak Indonesia," tegas mantan aktivis ini.
Menurut Januar, pihak pemerintah Arab pongah dan sangat tertutup dalam kasus Ruyati. Padahal, publik di Indonesia sangat kesal dengan perilaku pemerintah Arab tersebut. Apalagi, kabarnya Ruyati sering disiksa, hingga tidak tahan lagi dan terpaksa membunuh majikannya. Sayangnya, akibat keluguan Ruyati, dalam persidangan dia dengan gamblang mengakui membunuh setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan. "Banyak oknum majikan di Arab Saudi yang menyiksa ibu-ibu TKI bak memperlakukan binatang," sesalnya.

Januar menanggap pemeirntah Kerajaan Arab otoriter dan berbuat tidak adil. "Saya dengar, hukuman mati di Arab Saudi itu hanya berlaku bagi rakyat kecil, tetapi tidak berlaku bagi keluarga kerajaan dan orang yang berduit," beber pengamat Unas sembari menambahkan, dirinya heran dengan pihak pemerintah Arab yang tidak mau sama sekali rendah hati. "Mereka sepertinya meremehkan bangsa kita. Makanya, kita punya Presiden harus tegas."
Sebelumnya, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Buya HA Sjafi’i Ma’arif menilai hukuman pancung terhadap Ruyati sebagai tindakan yang biadab karena Pemerintah Arab Saudi tidak pernah memberitahutahu sebelum pelkasanaan eksekusi terhadap ‘pahlawan devisa’ kita itu.
“Seharusnya pemerintah Arab Saudi melaporkan kasus ini ke Konjen Indonesia di sana, bukan mengasih tahu setelah pasca eksekusi dilakukan.  Sudah meninggal, sudah dipancung, baru diberitahu... itu biadab," seru Syafi’i Ma’arif.
Dilema, Atase Ketenagakerjaan Dan Moratorium
Fraksi PKB DPR RI mengusulkan agar penambahan jumlah atase ketenagakerjaan diperhatikan pemerintah, hal ini dijadikan alasan karena perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di negara penempatan tidak terjamah sekalipun. “Perlu ditegaskan kembali, pemerintah tetap harus menambah jumlah atase ketenagakerjaan, dan porsi kewenangan yang lebih dari kewenangan administrasi, seperti kasus Ruyati yang dihukum pancung,” kata anggota Fraksi PKB, Chusnunia, Jumat (24/6).

Menurut Chusnunia, atase ketenagakerjaan seharusnya memiliki kewenangan yang bersifat kebijakan digunakan untuk upaya-upaya perlindungan pada TKI. Dalam hal moratorium, anggota Fraksi PKB ini, juga mendukung kebijakan pemerintah yang sedang melakukan langkah-langkah menuju penghentian pengiriman TKI sektor informal ke Arab Saudi.

Namun, Chusnunia meminta pemerintah mengkaji benar konsekuensi atas kebijakan moratorium tersebut, karena tidak bisa dielakkan puluhan ribu calon tenaga kerja Indonesia (CTKI) yang gagal, atau belum bisa berangkat karena moratorium harus dipikirkan kebutuhan lapangan pekerjaannya. Ia pun menyatakan, pemerintah harus memikirkan penyelesaian paling tidak angka 36 ribu orang jika moratorium diberlakukan. Saat moratorium dijalankan pemerintah wajib bertanggung jawab jika terjadi bertambahnya angka pengangguran.

“Kalau menurut data, setiap bulan ada 12 ribu TKI yang berangkat, jika dikalikan 3 berapa? Jelas lah, ada 36 ribu TKI yang harus dipikirkan pemerintah untuk mendapat pekerjaan, ini dilematika, satu sisi harus ada atase ketenagakerjaan guna jaminan perlindungan hukum, satu sisi ada moratorium yang berdampak pengangguran, hal ini harus dipikirkan dan dicarikan solusinya bersama,” kata Chusnunia.
Satgas Khusus TKI Langsung Bekerja
Kepala Pusat Humas Kemenakertrans Suhartono  menegaskan moratorium penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi hanya berlaku bagi sector domestic worker atau penata laksana rumah tangga (PLRT). Sedangkan TKI yang bekerja di sektor formal  dapat tetap berangkat dan bekerja ke Arab Saudi.

Mengenai pembentukan satuan tugas khusus, Suhartono  mengatakan berdasarkan keterangan Menakertrans Muhaimin Iskandar pihak Kemenakertrans sedang berkoordinasi dengan Kemenlu dan Kementerian Hukum dan HAM untuk menyusun anggota satgas sehingga dapat segera menjalankan tugasnya.

“ Sebagaimana telah diputuskan Presiden dan Menakertrans, moratorium ke Arab Saudi memang hanya berlaku bagi TKI sektor domestik yang bekerja di sektor rumah tangga, sedangkan TKI formal tetap bisa berangkat dan bekerja ke Arab Saudi,” kata Kepala Pusat Humas Kemenakertrans Suhartono dalam keterangan pers, Jumat (24/6).

Suhartono  mengatakan Pemerintah akan melakukan moratorium (penghentian sementara) pengiriman TKI ke Arab Saudi. Pemberlakuan moratorium efektif mulai dijalankan pada 1 Agustus 2011 mendatang. Namun langkah itu akan dimulai hari ini dengan sejumlah persiapan. Moratorium ini akan dilakukan sampai ada pranata, perjanjian/MoU dan kesepakatan yang menjamin hal-hal lain yang diperlukan TKI.

Sementara itu, mengenai satgas khusus TKI Suhartono mengungkapkan  bahwa Menakertrans telah berjanji  satgas khusus segera terbentuk dan mulai bekerja  untuk penanganan dan pembelaan khusus WNI kita yang terancam hukuman mati.

“Salah satu alasan dan pertimbangan dalam pembentukan satgas khusus TKI adalah rekomendasi DPR untuk menyelamatkan 303 orang TKI yang terancam mati. Satgas ini akan memaksimalkan upaya hukum dan diplomasi sehingga dapat menyelamatkan para TKI tersebut,“ kata Suhartono.

"Hari ini sudah dimulai penyusunan nama-nama Satgas yang melibatkan koordinasi lintas kementerian.Setelah terbentuk, Menteri akan  langsung lapor Presiden dan langsung bekerja sesuai tugas dan fungsinya masing masing dalam koordinasi Kemenakertrans,“ Jurubicara Kemenakertrans. (*/RM/ARI/fon)

source: http://www.jakartapress.com/