Menyigi Pasar Bandaaia Pasie Nan Tigo, yang Dikelola Kaum

Ilustrasi
Pasar Bandaaia, Pasie Nan Tigo, Kototangah dibangun dan dikelola oleh masyarakat sekitar. Warga di sana menolak campur tangan Pemko dalam pembangunannya. Alasannya sederhana, mereka tidak mau “cengkeraman” Pemko lebih besar dan menghilangkan peran warga. Seperti apa geliat ekonomi di sana?

DARI kejauhan, tampak kapal-kapal nelayan tertambat di bibir pantai. Agak sedikit jauh ke tengah, tampak pula kapal bagan. Mereka baru saja menyelesaikan bongkar muat ikan hasil tangkapan semalam.

Sementara itu, sejumlah ibu-ibu dan para bapak sedang asyik memilih ikan yang baru saja dibongkar. Anak-anak mereka juga ikut berjibaku proses bongkar muat dan pemilahan ikan itu.

Tak sunyi di pagi itu. Suara teriakan sahut menyahut. Para pedagang dengan ramah memanggil pembeli sembari mempromosikan kualitas ikan segarnya. “Bali da, ni , pak, buk,” seru penjual ikan berebut konsumen.

Di sudut lain, para pedagang bersitungkuslumus mengupas kelapa, mengaduk tepung, dan menggiling cabai. Suasana keakraban begitu kental, khas pasar tradisional. 

Pasar Bandaaia yang berada di dekat Pantai Pasiejambak dengan luas sekitar satu hektare itu, saban pagi memang ramai dikunjungi pembeli. Ya, dari dulunya.

Para pengunjung datang dari penjuru Kota Padang.
Sejak beberapa bulan terakhir, aktivitas Pasar Bandaaia semakin ramai. Terlebih, sejak pasar direlokasi agak jauh dari bibir pantai, yakni ke tanah kaum Suku Sikumbang. Pasar ini dibangun tahun 2000 dan dikelola Rosmawir, ninik mamak Suku Sikumbang.

Relokasi pasar dilakukan karena rawan abrasi. Lihat saja, bekas lokasi pasar yang dulunya di bibir pantai, kini hilang tanpa bekas diterjang gelombang pasang.

Dulunya, di pasar ini, para pedagang hanya menjual ikan di atas meja seadanya. Kondisinya pun semrawut. Lelaki berumur 60 tahun itu, kemudian melakukan penataan dengan membangun los-los kecil sehingga dagangan bisa rapi dan tak berserakan.

“Setiap meja dikenakan pungutan Rp 3.000 per hari. Rasanya tidak memberatkan para pedagang,” ujar Rosmawir kepada Padang Ekspres, kemarin (28/7).

Tahun 2003, Pasar Bandaair “naik kelas”.  Romawir bertekad meningkatkan pembangunan pasar. Dia mengubah bentuk pasar yang dulunya hanya meja, menjadi berbentuk kios. Pasar tampak lebih hidup dan semarak. Alhasil, para pengunjung terus bertambah. Pasar pun semakin ramai.

Kios-kios yang selesai dibangun disewakan kepada pedagang. Harganya Rp 2 juta setahun. Kehadiran pasar memberi banyak peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Selain berdagang, mereka juga bisa menyediakan jasa transportasi ojek dan tukang angkut.

Rosmawir mengungkapkan, beberapa kali petugas dari Dinas Pasar datang dan menawarkan untuk membangun pasar tersebut. Namun, dia menolak karena tak mau ada masalah di kemudian hari.

Dia takut, jika pasar diserahkan ke Pemko, maka haknya sebagai pemilik akan hilang. Padahal, pasar dibangun di atas tanah sukunya. Dari pasar itu, Rosmawir mendapatkan penghasilan lumayan. Bahkan saat ini dia sudah mendaftarkan diri untuk naik haji.

Ada 200 pedagang di pasar tradisional itu. Dengan jumlah kios mencapai 100 unit plus beberapa lapak-lapak meja di pinggiran pantai. Rosmawir memperkirakan ada seribu orang yang berkunjung ke pasar itu setiap paginya.

Aktivitas pasar berlangsung setiap paginya dari pukul 07.00 sampai Pukul 12.00. Para pembeli berasal dari kompleks Mutiara Putih, Lubuk Gading Permai, Kompleks Singgalang, Permata Biru dan Bumi Serdang Damai. Bahkan, ada pedagang ikan keliling dari Lubukalung berbelanja ke sini.

Armen, pedagang makanan di pasar itu mengatakan, mulai berdagang sejak tujuh tahun lalu dengan mengontrak kios Rp 2 juta per tahun. Dia mengaku senang berdagang di sini karena semakin ramai. Dari hasil penjualan, dia mengaku bisa menghidupi keluarganya.

“Dulu waktu saya berjualan, kami hanya di pinggir pantai dan semrawut. Sekarang sudah tidak lagi,” ujarnya.
Pembeli juga kelihatan senang berbelanja di sini. Keteraturan dan kenyamanan menjadi alasan. “Ikannya segar-segar dan dekat pula dari rumah. Harganya pun lebih murah dibanding Pasar Raya,” ujar Yuanita, 47, seorang pembeli.

Pemko memang berperan besar dalam pembangunan. Tapi, menunggu segalanya datang dari Pemko, juga tak mengubah apa pun. Masyarakat Bandaaia membuktikan, hanya mereka yang mampu mengubah nasib hidup. (mg10)