Penjual Es krim Keliling yang Sering Dikejar Polisi

klik untuk melihat foto
Tanah rantau yang menjanjikan telah membawa langkah Dison untuk menyebrang ke negeri Jiran Malaysia. Ia mendengar dari kakak dan saudaranya yang telah lebih dulu merantau, bahwa di Malaysia bisa hidup lebih baik dengan penghasilan yang lumayan untuk ukuran Indonesia. Makanya begitu selesai SMA, sempat menganggur dua tahun, ia memutuskan untuk mengikuti kakaknya.

Dison (50) yang bernama asli Badrus itupun melakukan segala cara agar sampai di Malaysia. Iapun menjadi penumpang gelap dan bahkan menjadi pendatang haram untuk jangka yangcukup lama di Malaysia. Dengan bekal tekad, dari Solok, kampungnya, Dison berhasil sampai ke Malaysia

Pada awalnya, ia hanya menumpang di tempat saudara dan mencoba mencari pekerjaan. Namanya merantau, harus bisa bertahan, ia melakoni apa saja yang bisa ia perankan. Ia pernah menjadi kernet truk, supir truk, dan supir taksi. Tetapi pekerjaan seperti itu menurutnya sangat beresiko, apalagi dengan bekerja pada orang lain.

“Kalau orang Padang kan ndak mau diperintah-perintah. Maunya bekerja sendiri, tidak dengan orang lain. Awak ndak enak kalau diperintah orang. Apalagi kalau orang atau majikan kita itu agak keras dan kasar,” ungkapnya kepada padangmedia.com suatu kali ketika bertemu di Kualalumpur.

Karena alasan itulah, menurut Dirson orang Padang banyak “manggaleh”. “Biarlah jualan di kaki lima tetapi memang usaha sendiri. Tidak dengan orang lain,” katanya beralasan.
Sebagai anak petani, yang hidup dalam ketidakcukupan di kampungnyua, Dison sudah bertekad harus berhasil di rantau. Meski tak jadi pengusaha besar, tetapi hidup bisa berkecukupan dan membantu orang tua di kampung, baginya sudah lebih dari cukup. Makanya ia tekadkan dalam hatinya, harus bisa. “Kalau mau bekerja keras, mau berusaha, dimanapun kita akan bisa,” ucapnya .

Ia juga melihat ada beberapa orang kampungnya di Kualalumpur yang hanya bekerja sebagai penjahit atau di pabrik, yang berpenghasilan lumayan. Mereka bekerja sebulan di Malaysia, kemudian pulang ke kampung seminggu membawa uang dalam jumlah besar. “Banyak orang kampung saya seperti itu. Sampai sekarang juga masih ada yang begitu. Mereka kerja disini sebulan dapat gaji, pulang seminggu. Karena keluarganya masih di kampung. Ada juga bujangan. Mereka pulang bawa uang 4 – 5 juta rupiah. Kalau mereka gunakan ongkos ke kampung satu juta pulang pergi, artinya masih sisa 3 juta untuk keluarganya. Kan lumayan buat hidup keluarganya. Kalau mereka di kampung, belum tentu dapat gaji sebanyak itu,” jelas Dison.

Merasa kurang nyaman bekerja sebagai supir, Dison kemudian mencoba berjualan. Namun jika berjualan sendiri, ia butuh modal. Bekerja sebagai karyawan di toko juga tak nyaman baginya. Akhirnya ia mencoba menjual es berkeliling dengan sepeda motor. Ia mengajukan permohonan pada Es Polar, salah satu produk es krim yang cukup laris di Kualalumpur. Es krim dengan rasa nangka, duren dan coklat. Es krim itu dimasukkan kedalam kerupuk kerucut atau disisipi dengan roti. Harganya Cuma sepuluh ringgit.

Persyaratan untuk menjadi penjual keliling es krim itu tidaklah sulit. Hanya dibutuhkan kemahiran memandu sepeda motor dan membawa dagangannya berkeliling ke tempat-tempat keramaian. “Sebelumnya saya juga sudah mencoba dengan es krim merek lain. Tapi dari cerita kawan-kawan yang juga berjualan produk yang sama, saya beralih pada merek es ini. Peraturannya tidak begitu ketat. Kita cuma mengambil barang, menjualnya. Kalau sisa, kita kembalikan. Jadi tak beresiko,” katanya.

Agaknya, Dison mulai betah dan hingga sekarang masih bertahan dengan produk es krim itu setelah 13 tahun. Ia merasa “enjoy” tidak diperintah orang, tidak beresiko dan berpenghasilan lumayan. Keuntungan dari berjualan es krim ini menurutnya lumayan. Dagangannya laris manis, apalagi bila ada keramaian seperti pameran dan pagelaran yang mendatangkan orang banyak. Ia sering mangkal di gedung UMNO dimana di tempat itu sering di gelar pameran.

Mulai jam 12 siang, ia sudah mengusung es krimnya dengan sepeda motor berkeliling Kualalumpur. Jika ada keramaian, ia akan memarkir sepeda motornya selang beberapa jam. Hingga jam 7 malam ia kembali ke perusahaannya menyetor uang dan sisa barang. Menurut pengakuannya, dalam sebulan ia berhasil mengumpulkan uang sekitar 4000 ringgit bahkan lebih kalau banyak iven.

“Dalam sebulan saya harus mencarikan uang sebanyak 3000 ringgit. Itu wajib, untuk listrik, telfon, belanja anak, makan dan kebutuhan sehari-hari, julo-julo dan sekolah anak. Alhamdulillah, adalah simpanan sedikit,” ungkapnya polos.

Selama 13 tahun lebih menjadi penjual es krim, dari hasil tabungannya ,Dison sudah memiliki sebidang tanah. Meski tak menjelaskan dengan pasti, ia memperkirakan tanah itu bernilai 80 juta rupiah. Ia tengah mempersiapkan tabungan untuk membangun rumah diatas tanahnya itu. “ Saya punya keluarga disini. Saya bertekad harus punya rumah sendiri untuk istri dan anak-anak,” ujarnya.

Sejak merantau ke Malaysia, awalnya, ia belum berpikir untuk berkeluarga. Tekadnya hanya bekerja, mencari uang dan membantu orang tua di kampong yang hanya hidup pas-pasan. Namun karena usianya sudah tergolong pantas berumah tangga, orang tuanya mendesak agar ia menikah. Maka dijodohkanlah ia dengan wanita sekampungnya. “Saya menikah dengan orang satu kampong. Dijodohkan keluarga. Setelah menikah saya bawa ke sini,” tambahnya.

Dari pernikahan itu, Dison dikaruniai dua orang anak, satunya kelas 3 SMA dan Kelas V SD. Kedua anaknya sudah menjadi warganegara Malaysia karena lahir di sana. Sementara Dison sendiri, merasa belum yakin akan mengubah kewarganegaraannya. Ia masih tercatat sebagai warga Negara Indonesia meski hampir 30 tahun hidup di Negara jiran itu.

Apakah ia tak berniat memiliki usaha atau toko sendiri? Tentu saja niatnya ada. Namun ia tak mau menanggung resiko dan dipusingkan dengan hal-hal menyangkut bisnis. Jika memiliki toko, ia harus memikirkan sewa toko, gaji karyawan dan biaya lainnya yang akan memusingkan kepalanya. Meski dengan pekerjaannya berkeliling seperti sekarang juga masih menghadapi resiko, tetapi menurut ukurannya, masih bisa diatasi.

Selama berjualan keliling Dison mengaku sering dikejar-kejar polis diraja Malaysia karena berjualan di tempat yang tidak boleh parker. Kalau sudah begitu, ia cepat-ccepat menaiki sepeda motornya, mengarahkannya ke tempat lain. Bahkan saat dikejar polisi ia sedang menyiapkan es krim untuk pembelinya. Belum sempat dibayar, polisi datang memburunya. Ya, Dison tidak peduli dengan uang pembelian, langsung saja tancap gas.

Resiko lain, katanya, cuma lantaran cuaca. Misalnya hujan, atau udara agak dingin, maka penjualannyapun melorot turun. Beberapa resiko lain dalam berjualan keliling itu, menurut Dison masih bisa ditoleransi. Tetapi bila memiliki toko sendiri, pikirannya akan tersita banyak dan sangat memusingkan. “Saya tidak mau pusing. Biarlah seperti ini saja,” tukasnya. (dodo/nit)

source: