PADANG- Orang Minangkabau di ranah (kampung) dan rantau saat ini memiliki jurang pemisah. Seperti terlihat pada saat perantau hendak mengadakan Kongres Kebudayaan Minangkabau (KKM) 2011 di Sumatera Barat (Sumbar).
Bahkan saat itu, meski ditentang orang ranah, para perantau tetap mengadakan kegiatan yang digagas Gebu Minang itu.
"Para perantau sering merasa sebagai warga kelas satu. Sehingga lewat KKM bercita-cita ingin merubah kampung lewat konferensi yang mereka adakan," jelas Budayawan, Rusli Marzuki Saria dalam Diskusi "Menyigi arah perjuangan hidup orang minang masa kini," Sabtu (17/09) di Sekretariat Magistra, Parak Jigarang, Kota Padang.
Papa, kerap Rusli disapa mengatakan bahwa KKM adalah upaya perantau memperlihatkan dirinya sebagai warga kelas I di Minang. Sedangkan mereka yang ada di ranah hanyalah warga kelas II.
"Mereka mengadakan konferensi seakan mau merubah keadaan, seakan orang di ranah itu bodoh semua," ujar Papa.
Papa dalam kesempatan itu juga berkisah tentang perantau yang menganggap diri sebagai warga kelas I di tanah rantau. Saat itu Papa tengah dalam keadaan kehabisan persediaan di Jakarta. Sehingga dirinya memutuskan untuk menemui salah satu perantau di Jakarta. Namun apa yang ia terima, hanyalah petuah-petuah tanpa memberinya bekal untuk kembali ke Padang.
"Kita hanya diberi petuah, tanpa diberi bekal, bahkan terlihat mereka keberatan membantu kita di Rantau," ingat Papa saat itu.
Selain itu, papa dalam kesempatan itu juga mengkritisi para perantau yang hanya mencari gelar di kampung, tanpa terlebih dahulu berbuat pada kampungnya.
"Bila itu dibiarkan, maka falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) hanya akan menjadi kalimat di tengah masyarakat Minang," ujar Papa.
Tak hanya itu, Papa dalam diskusi juga menyebut bahwa orang Minang saat ini ialah Hipermaterialis. Pasalnya kedudukan, pangkat dan uang merupakan modal utama untuk mendapat kehormatan di tengah masyarakat.
Papa mencontohkan, saat seseorang lelaki hendak melamar seorang wanita pasti yang ditanyakan ialah pekerjaannya. " Kalau seniman atau penyair pergilah, kalau dokter atau pegawai baru bisa diterima," ungkap penyair senior tersebut.
"Kita mangkutak di prosa liris, mangkutak ialah seseorang yang hidup tanpa beban, hidup pula di dunia yang penuh kata-kata belaka," terang Papa.
Oleh sebab itu, Papa berharapa pada diskusi itu agar pemuda Minang harus terus maju, agar tidak terkurung kata-kata, sebagai awal revolusi pemikiran di Minangkabau. (dodo)
source :padangmedia.com